20.44

Zyifa Eka Wigunani, anak yang selalu berada di nomor absen terakhir di kelasnya, dan juga selalu mendapat tempat terakhir di hati teman-temannya. Hal itu terjadi karena sifat Zyfa yang sombong, padahal semua orang di sekolah itu mengetahui, bahwa Zyfa termasuk salah satu siswa yang tidak mampu. Namun, sikap dan tutur katanya seperti layaknya orang kaya yang sedang menyombongkan kekayaannya. Jelas saja, hampir semua teman sekelasnya tidak menyukai Zyfa.
Mengapa hanya ‘hampir semua’ yang tidak menyukai Zyfa? Karena, masih ada yang mau bergaul dan berteman dengannya. Nabila dan Nanda selalu bersama Zyfa setiap hari. Dan karena berkumpul terus dengan Zyfa, mereka berdua pun menjadi sombong juga. Padahal, sebelumnya, mereka berdua adalah anak yang rajin sholat dan baik hati.
Bapak dan Ibu Anas, itulah orang tua mereka. Bukan tak mampu, namun kehidupan keluarga mereka sangatlah sederhana. Buktinya, mereka masih dapat memiliki rumah yang berdinding semen dan masih bisa memberi anak mereka uang jajan. Apabila keluarga mereka digolongkan orang miskin, tentunya mereka tak akan memiliki semua itu.

Seperti biasanya, pada hari Selasa, tempat nongkrong Zyfa dan kawan-kawan adalah di depan toilet wanita. Dan ketika Iga, salah satu teman sekelasnya lewat dengan membawa tiga bungkus camilan, sembari bersenda gurau dengan sahabat akrabnya, Ani. Dan hal itu terjadi lagi. Zyfa terpancing dan mulai mengucapkan kesombongannya lagi.
“Makanan gitu aja dipamerin. Aku aja yang bisa beli makanan lebih banyak dari dia nggak sampai segitunya kalau bawa makanan. Cape deh,” ucap Zyfa
“Iya tuh, makanan aja sampai dirangkul segitunya. Udah lengket kayak pacaran aja,” sambung Nabila dengan sinis.
“Kalian ini apa-apaan sih? Kita kan nggak pernah ada urusan sama kalian. Tapi, kalian kok sirik banget gitu sih? Biarin aja lah, kan hak Iga buat bawa makanannya dengan gaya sesukanya,” sahut Ani
“Anak kecil satu ini ngikut aja sih. Nggak usah ikut campur lah, ini kan urusan antara kita sama si Iga, Ni. Kenapa kamu ikutan juga?” kata Nanda.
“Iga sahabatku, dan aku peduli sama semua sahabatku. Kalau kamu menghina sahabatku, sama aja kamu menghinaku,” jawab Ani.
“Udahlah, Ni, kita ngalah aja sama orang-orang kayak gini. Biar yang di atas yang balas ke mereka,” nasehat Iga.
“Yang di atas? Atap toilet maksudmu? Atau langit? Ya udah deh, aku tunggu balasan dari mereka. Ya udah, guys, kita cabut dulu yuk. Nggak cuma mereka kan yang bisa beli dan pamerin makanan mereka,” timpal Zyfa. Zyfa beserta kawan-kawannya langsung meninggalkan tempat tanpa berpamitan pada Iga dan Ani.
“Huh, dasar tukang pamer. Masa tukang pamer bilang orang lain suka pamer? Nggak kebalik apa?” tanya Ani pada Iga
“Udahlah, Ni, kita nggak usah mendengar omongan tiga anak sombong itu. Mending kita masuk ke kelas aja yuk, kita kan belum ngerjain PR dari Pak Slamet Fir,” sahut Iga.
“Ayo. Nanti aku nyontek ya!” pinta Ani dengan santainya.

Hari demi hari telah berlalu. Hampir semua kegiatan di kelas 8F SMPN 1 Banyuwangi berjalan dengan lancar, hanya saja Zyfa yang berbeda. Kelakuan Zyfa telah berubah 180o. Sampai-sampai, guru dan teman-temannya menjadi aneh ketika Zyfa lewat di depan mereka. Siapa yang nggak heran, coba. Seseorang yang sombong dan angkuh, bisa menjadi pendiam dan sulit untuk bicara? Memang, semenjak bulan Februari lalu, Zyfa terlihat lebih pendiam. Wajahnya tampak lebih pucat, jalannya pun tak sekuat dulu. Namun, semua orang tak memperhatikan hal itu, begitu pula dengan Zyfa sendiri.
“Eh, kamu merhatiin si Zyfa nggak, Shel, Nip?” tanya Iga pada Shelly dan Hanif.
“Ngapain? Buat apa coba, kita merhatiin anak yang nggak jelas kayak gitu? Nggak penting banget sih! Emangnya kenapa?” sahut Shelly.
“Iya, betul, kenapa kamu jadi perhatian sama dia sih sekarang?” tanya Hanif.
“Hei, Ga, betul tuh kata si Shelly sama si Hanif. Buat apa juga kita merhatiin anak kayak gitu?” timpal Ani yang tiba-tiba muncul di belakang Iga, entah dari mana datangnya. Iga pun hampir melompat kaget dibuatnya.
“Bukan begitu kawan. Kamu liat nggak sih, Zyfa udah tampak makin pucat belakangan ini. Jalannya pun lemes banget. Nggak kayak bisanya. Dan yang bikin aku lebih heran, tadi, waktu aku lewat depan Zyfa dengan bawa makanan, dia nggak nyindir aku lagi. Ngelirik aja enggak. Masa kalian nggak perhatikan?” jelas Iga.
“Bener juga sih apa kata Iga. Belakangan ini, aku nggak pernah dengar si Zyfa ngoceh nggak jelas lagi. Kelas jadi agak sepi deh,” tutur Hanif.
“Tapi itu bukan urusan kita kan? Meskipun dia mati sekalian, toh nggak ada ruginya sama kita,” timpal Shelly.
“Hust… Nggak boleh bilang kayak gitu. Gitu-gitu dia kan teman sekelas kita. Teman sekelas kan juga tergolong sebagai keluarga kecil.” nasehat Iga pada Shelly. Dan tepat setelah Iga mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba pembicaraan terhenti oleh kehadiran seseorang. Siapa lagi kalau bukan Zyfa. Dia hanya sendiri. Memang, semenjak Zyfa menjadi pendiam, dia tak pernah diikuti oleh kedua teman akrabnya lagi.
“Hai, Zyf. Gimana kabar nih?” tanya Iga dengan sopan dan lembut.
Zyfa hanya menoleh sebentar ke Iga, dengan pandangan hampa. Setelah itu, Zyfa memalingkan pandangannya dan masuk ke kelas. Shelly yang tersulut emosinya pun langsung berteriak “Nggak tahu diuntung. Masih untung ada yang mau nyapa. Ntar aja, kalo udah nggak ada yang mau sama dia. Nyesel pasti loe, Zyf!” Teman-temannya yang lain hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan Shelly.

Hari demi hari berlalu, bulan Maret pun telah tiba. Semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, kehidupan di kelas 8F terasa hampa semenjak pertengahan Maret. Zyfa sudah sepuluh hari tidak masuk karena sakit, menurut surat ijin yang dikirim orang tuanya. Tapi, tak ada satupun dari teman-temannya yang memperhatikan hal tersebut, kecuali Iga. Iga mulai merasa tidak enak pada hari ke sebelas tidak masuknya Zyfa.
“Eh, Ni, kamu ngerasa ada yang aneh nggak?” tanya Iga pada Ani.
“Apanya yang aneh? Perasaan semuanya biasa-biasa aja deh sampai sekarang,” jawab Ani dengan tenang. Percakapan ini dilakukan saat sekolah sedang jam istirahat.
“Itu, tuh, si Zyfa. Dia kan udah sebelas hari ini nggak masuk sekolah. Masa kamu nggak aneh sama hal ini? Penyakit apa coba yang dialami seseorang selama belasan hari?” terang Iga.
“Ngapain juga mikirin dia. Dia toh nggak pernah mikirin kita kan? Udah mau mati kali, makanya penyakitnya lama banget. Kebanyakan dosa dia tuh,” jawab Ani dengan nada agak sinis.
“Yah, kita kan nggak harus nerapin peribahasa “air tuba dibales air tuba” kan? Sebagai teman, kita kan harus perhatian ama sesama teman. Nah, sekarang, kita harus perhatian sama si Zyfa. Iya kan?” tanya Iga pada Ani. Iga ingin menegaskan pada Ani bahwa meskipun Zyfa anak yang tidak baik, kita juga harus memperhatikannya dengan perhatian seperti seorang keluarga.
“Udahlah, Ga. Nggak usah ngebahas Zyfa, nggak penting banget tahu! Aku cabut dulu ya,” pamit Ani.
“Ni, tunggu dulu, nanti sore aku mau ke rumah Zyfa, kamu mau ikut nggak?” tawar Iga.
“Nggak ah, Ga. Kamu pergi sendiri aja. Lebih enakan tidur di rumah ketimbang njenguk si sombong itu,” Ani pun menjawab sambil melangkahkan kainya menjauh dari Iga. Iga pun langsung sendirian di kantin, karena jam istirahat sebentar lagi berakhir.
“Pokoknya, apapun yang terjadi, aku tetap harus ke rumah Zyfa nanti sore. Aku nggak boleh ikutan teman-temanku yang nggak mau peduli sama Zyfa,” tekad Iga dalam hati. Dia pun segera menyusul Ani ke kelas, karena bel tanda istirahat telah usai berbunyi.

17 Maret 2010, pukul 15.03, Iga tiba di depan rumah Zyfa. Pintu rumah Zyfa diketuk, namun tak ada yang membukakan. Iga pun mengetuk makin keras, tetap tak ada respon dari pihak pemilik rumah. Ketika sudah kurang lebih lima menit Iga mengetuk pintu, seorang ibu muncul di depan rumah tetangga Zyfa.
“Mau cari siapa, dik?” tanya ibu itu.
“Mau cari Zyfa, tante. Kok tidak ada yang membukakan pintu ya?” tanya Iga dengan nada yang sopan.
“Oh, Zyfa. Dia kan sudah masuk rumah sakit 5 hari ini. Tante sudah sempat menjenguk juga. Katanya sih kena leukemia. Kamu tahu kan penyakitnya?” jawab tetangga Zyfa.
Iga langsung shock di tempat. Tak disangka, seorang temannya, yang selama ini selalu menyombongkan diri, sekarang terserang suatu penyakit yang sangat mengancam hidupnya. Bahkan, dapat merenggut nyawanya dalam waktu sejenak. Pantas saja, Zyfa tampak pucat dan lemas belakangan ini.
“Dik, kamu kok melamun?” Pertanyaan ibu itu mengejutkan Iga. “Apa kamu mau menjenguk juga?”
“Tentu, tan. Zyfa dirawat di mana ya?” tanya Iga, dengan nada yang masih belum sempat diaturnya karena shock tadi.
“Di RSUD Blambangan, Tapi, kasihan sekali, soalnya tante dengar kalau penyakitnya udah stadium tiga, waktu tante ke sana dulu,” terang ibu itu. Iga pun mendengarkan dengan penuh perhatian dan minat.
“Oh, ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu tante. Terima kasih banyak atas infonya. Permisi.” Iga pun pamit dan segera mengendarai sepeda motornya kembali. Sepeda itu diarahkannya ke jalan protokol yang merupakan jalan untuk pulang ke rumahnya.
Dalam perjalanan, Iga terus memikirkan Zyfa. Hal tersebut mengganjal sekali di hati Iga. Mengapa, sebagai teman sekelasnya, Iga tidak tahu kalau Zyfa sedang sakit keras? Mengapa sebagai temannya, Zyfa tidak pernah menceritakan sesuatu pada semua teman sekelasnya tentang penyakitnya itu. Dan bagaimana mungkin, anak sekuat Zyfa, bisa mendapatkan penyakit seperti itu?

Keesokan harinya, Iga merencanakan untuk mengabarkan kabar buruk mengenai Zyfa itu pada teman-temannya. Namun, kesibukan hari itu nampaknya tidak memungkinkan Iga untuk menceritakan semuanya. Maka dari itu, Iga mengurungkan niatnya.
Saat jam pelajaran IPS, tiba-tiba Iga ingat bahwa hari itu adalah ulang tahun Ery, dan semua teman sekelas diundang ke pesta yang diselenggarakan di KFC itu. Iga berniat menyampaikan berita buruk itu di sana. Namun, Iga hanya dapat berharap-harap cemas, semoga saja semua yang dilakukannya mendapat respon positif dari teman-temannya. Lamunan Iga dibuyarkan oleh seseorang yang mengagetkannya dari belakang.
“Hayo, lagi ngelamunin siapa kamu? Dari kemarin perasaan kamu melamun terus. Jangan bilang kamu melamun gara-gara si………….,” tanya Ani.
“Si Zyfa maksudmu? Iya kan? Memang sih. Tapi, nggak usah dibahas lah. Nanti sore kamu datang ke pesta ulang tahunnya Ery kan?” tanya Iga.
“Ya datang dong. Lumayan, makan gratis. Hahahaha…” sahut Ani dengan santainya.
“Hahaha, kamu, Ni, bisa aja. Ya udah kalau gitu. Mau berangkat sama-sama apa berangkat sendiri?” tanya Iga, berharap Ani mau berangkat bersamanya.
“Sendiri aja lah, Ga. Soalnya nati sekalian mamaku mau arisan ke rumah temennya, sekalian lewat KFC juga,” terang Ani.
“Huh, ya udah deh kalau gitu. Ayo, kita masuk kelas sekarang. Bu Sri udah mau dateng, loh!” ajak Iga. Ani pun mengiyakan dan mereka berdua segera berjalan menuju kelas 8F.

Pesta ulang tahun udah dimulai. Ery tidak mengadakan birthday party yang sering kita lihat di KFC, karena pesta itu hanya untuk anak kecil. Dan akan lucu sekali apabila Ery yang mengadakan pesta tersebut. Jadi, pesta ini hanya pesta kecil-kecilan, seperti makan biasa, hanya saja beberapa meja digabungkan menjadi satu.
“Apa sekarang ya saatnya?” tanya Iga dalam hati. Dia ragu untuk menyampaikan kabar tentang Zyfa, karena takut teman-temannya emosi mendengar hal-hal yang berkaitan dengan temannya yang telah dikenal sebagai anak yang sombong itu.
“Teman-teman, aku mau bicara sebentar nih. Er, aku minta waktunya sebentar ya?” pinta Iga pada Ery, serta pada teman-temannya.
“Oh, silakan.” Persetujuan dari Ery telah dilontarkan, Iga pun mempunyai hak untuk mengumumkan sesuatu di acara itu.
“Teman-teman, aku mau minta waktunya sebentar ya. Satu menit aja. Aku mau minta bantuan kalian. Aku tahu, kalian barangkali bisa marah atau emosi kalau mendengar permintaanku ini. Tapi, tolong aku, sekali ini saja,” ucap Iga. Suasana pun hening sejenak, sampai ada seorang anak yang menyahuti.
“Pasti kamu mau ngomong tentang anak sombong itu kan? Nggak usah lah, nggak penting banget buat dibicarain,” sahut Shelly dengan penuh rasa sebal.
“Tolonglah, kawan. Jangan dulu mepermasalahkan hal itu. Zyfa memang benar-benar membutuhkan bantuan kita,” terang Iga.
“Bantuan apa sih? Dia itu mau sama kita kalau lagi ada butuhnya aja. Dasar anak egois,” celoteh Hanif.
“Bukan dia yang yang minta bantuan, tapi aku, Iga Okfida, atas nama Zyifa Eka Wigunani, mohon bantuan sama kalian. Ini hal yang penting. Zyfa sedang menderita sakit leukemia. Sudah stadium tiga kabarnya. Tapi, aku nggak tahu lagi, sejauh apa perkembangan penyakitnya sekarang. Dan seperti yang kita semua tahu, Zyfa itu anak orang yang kurang mampu. Jadi, tentu saja dia membutuhkan bantuan kita untuk melakukan pengobatan yang terbaik agar kesehatannya bisa kembali,” terang Iga. Semuanya rebut sendiri, hingga Wuri mengucapkan sesuatu.
“Biarin mati aja kenapa sih? Kenapa juga kita harus peduli sama dia,” katanya.
“Hush, nggak boleh kayak gitu. Kita ini kan juga teman-temannya. Meskipun aku masih sebel sama Zyfa, tapi aku masih punya rasa kemanusiaan. Dia benar-benar butuh bantuan kita, Wur,” sahut Ani.
“Betul kata Ani. Kita nggak boleh kayak gini. Meskipun dia bukan anak yang baik, kita harus tetap berbuat baik sama dia. toh kan juga buat tabungan kita di akhirat nanti.” Akhirnya Ery pun berbicara. Semuanya pun hening sejenak. Mereka semua sedang berpikir keras. Konflik hebat sedang terjadi dalam hati mereka.
“Okelah kalau begitu. Kita bisa bantu apa nih?” tanya Shelly kemudian.
“Begini. Kalian tahu sendiri kan, kalau Zyfa itu tidak mampu secara ekonomi. Nggak ada salahnya kan kita ngasih uang yang ada di saku kita buat pengobatan Zyfa. Toh kita masih bisa minta lagi sama orang tua kita untuk uang jajan,” terang Iga. Karena tak menemukan topi untuk tempat sumbangan, dia pun menggunakan bucket ayam yang baru saja dihabiskan isinya oleh anak-anak.
“Wah, lumayan nih. Terima kasih ya teman-teman,” kata Iga, setelah menghitung jumlah uang yang terkumpul di chicken bucket. Dari 33 orang yang ada di sana, terkumpul dana sekitar 650 ribu rupiah. Maklum, kalau sedang di luar jam sekolah begini, anak-anak membawa uang lebih banyak daripada di sekolah.
“Dan, satu lagi nih. Siapa yang mau ikut aku menjenguk Zyfa sambil memberikan uang sumbangan kalian ini?” tanya Iga. Semua anak pun mengangkat tangan, tanpa terkecuali. Namun, entah siapa yang berbicara, ada pertanyaan “Kapan kita akan pergi ke sana?”
“Bagaimana kalau sekarang saja perginya? Toh baru jam setengah lima sore, jadi belum terlalu malam. Jarak rumah sakit pun tidak terlalu jauh dari sini. Lebih cepat lebih baik kan?” usul Ery.
“SETUJU!!!” Semua anak setengah berteriak secara serempak. Iga pun tersenyum dibuatnya.
“Ya sudah kalau begitu. Yang bawa sepeda motor sama yang bawa mobil segera ready di tempat parkir. Yang nggak bawa kendaraan segera cari tumpangan, kita ketemu di RSUD Blambangan, di lapangan parkir depan ya,” jelas Iga. Semuanya pun mulai menyebar dan mencari kendaraan dan tumpangan masing-masing.

RSUD Blambangan pun telah ada di depan mata. Semuanya telah tiba dan berkumpul di lapangan parkir depan rumah sakit. Langsung saja Iga membuka percakapan.
“Eh, siapa nih yang mau ke resepsionis? Tanyain kamar Zyfa, kan aku belum tau kamarnya,” tawar Iga.
“Kamu aja, Ga. Aku kirain kamu udah tahu kamarnya Zyfa,” jawab Ani.
“Iya deh, Ga. Kamu aja. Kita nunggu di sini. Buruan sana!” ujar Ery. Iga pun meninggalkan rombongan dan pergi menuju resepsionis.
Dan, tak lama kemudian, Iga pun kembali ke dalam rombongan. Dia telah mendapatkan info di mana Zyfa dirawat. Semua siswa kelas 8F pun segera menuju ruang Flamboyan 1.
Benar saja, ketika pintu diketuk, Pak Anas yang membukakan. Beliau terkejut atas kehadiran teman-teman Zyfa. Pak Anas pun menyuruh anak-ank masuk ke dalam ruangan. Karena ruangan itu sempit, hanya Iga, Ani, Ery, Shelly dan Hanif yang masuk ke dalam ruangan. Yang lain hanya ditemani oleh Pak Ans untuk emnunggu di luar.
Betapa terkejutnya kelima anak itu ketika melihat keadaan Zyfa. Tubuh Zyfa telah pucat pasi. Badannya pun bertambah kurus. Sudah tidak tampak Zyfa yang dulu lagi. Mata ibunya pun terlihat bengkak. Bu Anas kelihatan seperti baru menangis sepanjang malam.
“Sore, Tante,” sapa Iga.
“Sore, adik-adik,” jawab Bu Anas. “Bagaimana kalian bisa tahu kalau Zyfa ada di sini?”
“Iya, kemarin saya pergi ke rumah tante, namun tidak ada yang membukakan pintu. Dan tetangga tante yang memberi tahu saya,” jelas Iga.
“Oh, begitu,” jawab Bu Anas dengan singkat.
“Hai, Zyf. Gimana kabar kamu sekarang?” sapa Ery pada Zyfa.
“Ya, seperti yang bisa kalian lihat. Mungkin umurku udah nggak lama lagi. Kalian kok masih peduli sama aku? Padahal kan aku udah nggak baik sama kalian,” kata Zyfa. Suaranya terputus-putus.
“Kamu jangan bilang begitu, Zyf. Kami semua masih menginginkan kehadiranmu di tengah-tengah keluarga 8F,” ucap Ani.
“Memang benar kok, An. Kata dokter, penyakitku ini udah stadium akhir. Sudah nggak ada harapan lagi buat aku untuk hidup. Umurku udah tinggal hitungan hari,” tutur Zyfa.
“Tapi nggak ada yang nggak munkin di mata Tuhan, Zyf, semuanya masih mungkin terjadi. Kamu pasti bisa sembuh Zyf,” tutur Hanif.
“Ya, sampai sekarang ini aku cuma bisa berdoa, semoga Tuhan kasih yang terbaik buat aku,” kata Zyfa. “Dan aku juga mau minta maaf ya sama kalian semua karena selama ini aku udah nggak baik sama kalian, sampaikan sama teman-teman yang lain juga ya.”
“Mereka juga ada di luar kok. Kita gentian, sebentar lagi mereka akan masuk juga,” jelas Shelly.
Setelah itu, Iga memberikan sumbangan yang terkumpul di KFC tadi pada bu Anas. Beliau mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Setelah itu, Iga dan kawan-kawan yang sudah masuk ruang rawat tadi segera keluar. Mereka pun digantikan oleh teman-teman yang lain untuk masuk ke ruang rawat. Dan setelah semuanya telah kebagian jatah untuk menjenguk Zyfa, semua siswa kelas 8F pun pamit pulang.

Keesokan harinya, tepatnya hari Jum’at, sekolah berjalan seperti biasanya. Iga telah lega karena dirinya dapat mengetahui keadaan salah satu teman sekelasnya itu. Masuk pukul tujuh, pulang pukul sebelas. Dan saat pulang sekolah, entah mengapa, Iga ingin melewati jalan di depan rumah Zyfa. Dan betapa terkejutnya Iga, ketika ia melihat bendera kematian telah dipasang di depan rumah Zyfa. Langsung saja, Iga menghentikan kendaraannya dan masuk ke dalam rumah Zyfa.
“Ada apa ini, tante?” tanya Iga pada tetangga Zyfa yang ditemuinya beberapa hari yang lalu.
“Zyfa, teman sekelasmu itu telah dipanggil oleh Tuhan tadi pagi, sekitar jam 9 tadi.” jelas ibu itu.
Iga langsung terpaku di tempat. Tak di sangkanya, secepat itu Zyfa pergi meninggalkan teman-temannya untuk selama-lamanya. Padahal, usia Zyfa masih tergolong sangat muda. Namun, mau bagaimana lagi, Tuhan telah berucap, tidak akan bisa disangkal.
Lamunan Iga pun dibuyarkan oleh suara tetangga Zyfa yang bertanya “Dik, apa kamu mau ikut ke penguburannya nanti? Ini jasadnya baru selesai dimandikan.”
“Ikut. Tetapi, saya pulang dulu ya, Tan. Sekalian saya ajak teman-teman yang lain,” jawab Iga. Dia pun segera mengambil kembali kendaraannya dan pulang dengan kecepatan tinggi.

Pukul 12 tepat, jasad Zyfa diberangkatkan dari rumahnya. Mulai dari berangkat, sampai proses penguburan, selalu diiringi dengan air mata, tak terkecuali air mata dari siswa 8F. Mereka setengah shok, atas ketiadaan Zyfa. meskipun mereka kesal pada Zyfa, tak berarti mereka tak peduli pada Zyfa.
“Sudah, tante, yang tabah. Zyfa pasti akan bahagia di sisi Tuhan. Daripada Zyfa terus hidup di sini, tapi dia menahan rasa sakit terus menerus. Mungkin ini sudah jalan dari yang Maha Kuasa,” kata Iga pada Bu Anas yang masih menangisi tanah kubur Zyfa.
“Tan… tan… tante masih sedih mengingat kejadian tadi pa.. pagi. Dari du.. du.. dulu, waktu Zyfa li.. lihat iklan Buble Float dar.. dar.. dari KFC, dia sudah ingin merasakan. Tapi, karena tante tidak punya uang, keinginan Zy.. Zyfa tidak bisa tante penuhin. Dan, setelah dapat uang dari kalian, tadi pagi, tante suruh om beli Buble Float buat Zyfa. Dia Kelihatan senang sekali saat meminumnya. Dan.. dan, setelah Zyfa minum sampai habis, dia bilang “Terima kasih, Bu. Zyfa suka sama minuman ini. Kapan-kapan, kalau ibu mengunjungi Zyfa, bawain lagi ya.” Dan waktu tante ingin memberikan air putih padanya untuk minum obat, Zyfa ternyata sudah dipanggil Tuhan. Dia sudah tidak bernafas lagi. Tan.. tante sempat kaget. Dia meninggal dengan senyum di wajahnya. Tante bahagia sekali, bahagia sekali, Zyfa bisa mendapatkan momen yang baik di detik-detik terakhirnya,” jelas Bu Anas. Isakan tangisnya semakin lama semakin dapat dibendung.
“Oh, jadi begitu kejadiannya, Tan. Kami semua, atas nama keluarga besar SMPN 1 Banyuwangi mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya atas musibah ini,” tutur Anin, sebagai ketua OSIS di sekolah Zyfa. Namun, dia bukan salah satu siswa kelas 8F.
“Iya, dik. Terima kasih atas perhatiannya,” ucap Bu Anas. “Nanti malam kalian datang ya ke acara
“Baik, Tante, kami semua pasti akan hadir,” sahut Ery.
“Kalau begitu, kita pulang saja sekarang, biar tidak capek nanti malam,” ajak Bu Anas. Mereka semua pun pergi, meninggalkan daerah makam Zyfa.

Itulah arti persahabatan sesungguhnya, di saat sahabat sedang kesusahan, kita harus peduli dan menolong semampu kita. Namun, manusia hanya berencana, karena semua sudah diatur di tangan Tuhan. Seperti Zyfa, sesombong-sombongnya dia, Iga masih peduli dan juga bertekad untuk membangkitkan rasa peduli teman-temannya. Namun, ketika semuanya sudah saling bermaaf-maafan dan mau meolong Zyfa, ternyata Tuhan telah berkehendak untuk memanggilnya kembali ke sisiNya. Selamat jalan, Zyfa. Kami kan selalu menyayangi dan merindukan kesombonganmu.

TAMAT