Sabtu, 17 November 2012

Butuh Mental Sebelum Tindakan

11.35



            Ketua KPK, sebuah jabatan yang sangat krusial menentukan kesejahteraan sekaligus martabat kejujuran negara kita. Betapa pentingnya peran ketua KPK, namun ada saja yang berusaha menghambat. Memang berburuk sangka itu tidaklah baik, namun bisa jadi peghambat tersebut sedang berusaha untuk melancarkan jalannya menuju uang negara yang terdapat di depan mata. Dengan melihat ketua KPK kita saat ini, belum saya temukan keberanian untuk berpondasi sendiri, setidaknya untuk melawan kebijakan-kebijakan yang dirasa menghambat kinerja KPK.
            Andai saya dipilih sebagai ketua KPK, hal paling dini yang akan saya lakukan adalah memperkuat mental saya. Mental merupakan faktor yang paling berpengaruh sebelum melakukan tindakan apapun. Saya harus mampu berargumen tentang sisi positif dari keputusan yang telah atau yang akan saya ambil, karena sebagai seorang ketua KPK haruslah mengambil keputusan yang akan membantu proses pemberantasan korupsi, bukan malah menghambat. Selain itu, kinerja saya dapat terbantu dengan adanya surat keputusan alias surat kuasa dari presiden untuk dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan usaha pemberantasan korupsi tanpa campur tangan siapapun kecuali tim saya. Tentunya surat tersebut haruslah diberikan bersamaan dengan dimulainya masa jabatan saya, sebagai penjamin kelancaran pelaksanaan tugas-tugas sebagai ketua KPK. Dengan demikian, penyadapan telepon masih dimungkinkan guna mengawasi oknum-oknum yang disinyalir berpotensi untuk melakukan tindak pidana korupsi.

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/838/Joevandi%20Dewantara.html

Senin, 12 November 2012

Guruku Tak Pernah Duduk Tenang

23.59


            Aku bukan seorang guru. Bukan pula karena orang tuaku adalah guru, karena beliau berdua juga tidaklah berangkat ke bangunan sekolah, bersolek dengan pakaian dinas dan menjinjing tas penuh berisi buku demi para pelajar yang haus akan ilmu. Kakakku juga bukan seorang guru. Akan tetapi, aku masih tetap menjunjung tinggi pengakuanku akan kehebatan guru-guruku. Mungkin akan banyak mulut yang mempertanyakan alasanku, dan aku akan menjawabnya dengan luas, yakni panjang kali lebar. Aku mempunyai puluhan alasan untuk pendapatku itu, bahkan ratusan. Namun, satu hal yang menjadi apresiasi terbesarku terhadap beliau-beliau adalah kemampuan seorang guru dalam beradaptasi.
            Sebagian besar masyarakat awam berpikir bahwa kemampuan beradaptasi merupakan suatu hal yang wajib untuk dimiliki oleh para tenaga pendidik. Memang benar, tidak ada yang pernah menyalahkan pernyataan tersebut. Seandainya kita mencoba untuk menyelisik lebih dalam lagi, sesungguhnya kemampuan tersebut telah dimiliki oleh guru-guru kita sejumlah ekstra, terutama para tenaga pengajar sekolah dasar. Betapa tidak, kurikulum pendidikan Indonesia yang terus menerus diganti mengharuskan para guru untuk kembali menyesuaikan diri. Tidak diperkenankan berlama-lama bagi beliau-beliau menemukan cara yang tepat untuk mendidik siswa-siswinya.
            Banyak hal yang sesungguhnya telah dihadapi oleh guru-guru kita dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang. Salah satu contohnya adalah pengadaan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bagi siswa-siswi kelas 1 dan kelas 2 sekolah dasar. Pada tahun 2002 saja murid kelas 1 SD masih harus mematangkan kemampuan mereka dalam hal membaca dan menulis, memang sesungguhnya hal itulah yang dilakukan oleh anak seusia mereka. Akan tetapi, kita tidak bisa mengabaikan faktor pengaruh globalisasi yang menyebabkan perkembangan zaman menjadi semakin pesat. Apabila Bangsa Indonesia tidak mengikuti perkembangan tersebut, maka habislah negara ini terpuruk. Satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini adalah penyesuaian cara mengajar guru yang mampu menyisipkan materi baca tulis di sela pelajaran lainnya. Dengan panjang waktu pembelajaran yang sama, guru dituntut untuk menyampaikan seluruh materi dengan tidak satu siswa pun yang merasa bosan, apalagi sampai bingung hingga tidak mendapatkan apa-apa dari materi yang telah disampaikan.
            Tidak berhenti sampai di situ saja, wacana penghapusan mata pelajaran IPA, IPS dan Bahasa Inggris, atau penggabungan IPA dan IPS menjadi IPU alias Ilmu Pengetahuan Umum bagi siswa sekolah dasar bisa dibilang cukup mengagetkan. Pasalnya, setiap guru harus melakukan kajian ulang terhadap materi-materi yang telah dan akan disampaikan. Bisa dikatakan baru saja para tenaga pendidik sekolah dasar mendapatkan posisi yang sangat nyaman dan sesuai pada kursinya mengajar materi-materi baru bagi siswa-siswi kelas 1 dan kelas 2, yakni IPA dan IPS, dan sekarang beliau-beliau harus mengambil ancang-ancang guna mempersiapkan sebuah materi baru di kelas, yakni Ilmu Pengetahuan Umum. Hal tersebut seakan memaksa para guru untuk berdiri dan kemudian kembali berusaha duduk dalam posisi yang sangat nyaman dan sesuai seperti masa sebelumnya. Inovasi dan kerja keras tentu diperlukan oleh beliau-beliau untuk
            Dari semua kasus di atas, satu hal yang seharusnya dapat kita lihat, yakni kemampuan guru untuk beradaptasi bukanlah lagi dalam batas normal, melainkan sudah bisa dikatakan ‘ekstra’. Tanpa inovasi dan kecekatan beliau-beliau, tak mungkin para pelajar masa kini mampu mengatasi masalah kurikulum pendidikan Indonesia yang terus menerus diganti dalam kurun waktu yang cukup singkat. Tak salah lagi, guruku takkan pernah mampu untuk duduk tenang, melainkan selalu mengeluarkan berbagai inovasi-inovasi baru, itulah guruku.

Minggu, 11 November 2012

Mutiara di Tengah Ilalang

11.06

“Itulah yang kusaksikan, siluet wibawa beliau yang terkibas di depan kelasku. Setiap hari. Ya, mungkin dua kali sehari. Seakan karpet wibawa beliau telah digelar di seluruh penjuru sekolah, jejak langkah beliau terlihat anggun bersama langkah tegap. Dan kurindukan beliau pada hari Jumat, sesaat sebelum bel sekolah memulangkan siswa-siswiya. Beliau rutin berdiri tegak di hadapan kami, saya dan teman sekelas, meyakinkan kami akan bayang-bayang masa depan cemerlang. Satu kata, ‘proaktif!’.”


Siapakah diriku? Adakah seseorang yang mampu memberikan jawaban atas pertanyaan seorang polos sepertiku? Ya, semua orang akan memberikan jawaban. Namaku. Itulah jawaban mereka. Aku pun berbalik termenung, mencari jawaban dari mulut ke mulut. Tak kudapati ludah yang berbeda. “Kamu Joevandi, kan?”

Roda kehidupan terasa seperti armadilo yang tiada lelah, namun tak kunjung kudapat jawaban dari pertanyaan tersebut. Hingga mulai seringaiku, seringai bendera putih. Aku lelah. Tak ada satu pun jejak yang dapat dikesan. Bagai semut yang baru saja kehujanan, aku mencoba untuk kembali mengenali arah dan tujuanku. Aku harus melangkah, siapa tahu ada yang akan mengikutiku. Namun, belum kukenali diriku sendiri, bagaimana mereka bisa mengenaliku, apalagi mengikutiku? Baiklah, kuputuskan untuk terus melangkah, tak peduli cacat yang mungkin kutemukan di akhir langkahku.  

Aku tersesat, begitulah aku menyebutnya ketika tak kukenali daerah di mana kakiku berpijak. Sebuah tempat penuh ilalang, tinggi, lebih tinggi daripada adikku yang masih seusia siswa taman kanak-kanak. Atapnya rapuh. Ada sebuah genting yang masih tersangkut di atasnya, atau mungkin sudah tidak patut untuk kuperhitungkan. Hanya kutemukan sebuah ruangan dari bangunan tersebut, namun pemandangannya tidak terlalu jelas. Kuputuskan untuk mendekat, selangkah demi selangkah bersama keraguan, hingga nampak beberapa bangku berjajar yang dengan anggunnya diselimuti oleh debu dan sarang laba-laba.

Sekilas aku mengenal tempat ini. Bangunan sekolah. Namun, pantaskah tempat seperti ini disebut dengan bangunan sekolah, atau setidaknya bekas bangunan sekolah? Tak terdeteksi nafas seorang pun di tempat ini selain udara yang keluar dari hidungku. Aku pun beranjak kembali pada lamunanku. Namun tidak, aku tidak boleh melamun lagi. Haruskah aku mengecat roda kehidupanku dengan lamunan yang tiada hentinya? Kucoba untuk berpikir logis. Namun tidak, cerobong logikaku sepertinya sedang buntu saat ini. Lalu apakah yang sebaiknya kulakukan? Kuputuskan untuk berbalik.

Langkah kuhentikan, sedikit terlonjak ketika kudapati sebuah kelembutan menyentuh pundakku. Ya, itu adalah tekstur sebuah telapak tangan. Kucoba untuk berbalik badan. Tampak sesosok perempuan lanjut usia yang berdiri di hadapanku sekarang. Sepertinya beliau telah mengawaskan pandangannya pada diriku sejak tadi. Beliau paham betul apa yang sedang kurasakan, yang sedang kubingungkan.

Kami mecari tempat untuk singgah. Tak kusangka masih ada sebuah kursi panjang di belakang bangunan tersebut, terlihat bersih dan mengilap, tak diragukan lagi bahwa dibersihkan setiap harinya. Aku dipersilakan duduk, dan semua cerita dimulai di sini.

“Wahai anak muda, saya tidak heran apabila engkau menyangsikan tempat ini. Sesungguhnya ini adalah tempat saya. Beberapa puluh tahun yang lalu, banyak anak kecil berdatangan guna meraup ilmu di sini. Saya merasa senang sekali. Sejak mentari terbit di ufuk timur hingga terbenamnya di ufuk barat, saya menghabiskan waktu bersama mereka. Semakin banyak, jumlah anak yang berdatangan semakin lama semakin menjamur. Waktu teruslah melaju, hingga mereka telah tumbuh dewasa. Banyak yang datang, banyak pula yang harus pergi. Memang saya yang menyarankan mereka yang telah dewasa untuk beranjak, memperdayakan ilmu yang telah mereka dapatkan. Tidak ada sepucuk kabar yang saya dapatkan dari mereka dalam waktu dekat setelah perpisahan kami, namun tak hentinya doa kupanjatkan demi kesuksesan mereka. Sesungguhnya bangunan ini saya perdayakan dengan harapan kampung yang tertinggal ini dapat semakin terangkat derajat pendidikannya, dan begitu pula isi doa yang selalu saya sujudkan, tiada melenceng dari satu tujuan, kesuksesan mereka. …”

Sejenak tertegun, tak mampu berucap apapun, aku hanyut dalam cerita beliau yang sungguh menyentuh hati. Pikiranku terambang, seandainya aku yang sedang dididik beliau, seandainya.

“… Hingga pada suatu hari ada seorang berjas hitam berdasi merah yang datang ke tempat ini. Ya, itulah pakaian yang dikenakannya pada saat itu, tak akan pernah saya lupakan saat itu. Seorang pria berjalan tegap, menggandeng seorang wanita dan seorang anak kecil berlarian tepat di depan mereka. Saya masih mengingatnya. Namanya Tegar, salah satu anak yang paling cerewet sebelas tahun sebelum kejadian itu. Spontan saya terkejut. Anaknya yang lebih dulu menghampiri saya. Mencium tangan, kemudian anak itu mengucapkan ‘Assalamu’alaikum nenek guru.’ Spontan saya terharu, senang, tak tahu harus berkata apa dan tak tahu atas dasar apa anak itu memanggil saya seperti itu. Tegar pun kemudian menghampiri saya, mencium tangan saya. Istrinya melakukan hal yang sama. Tiga kata yang diucapkan tegar pada saat itu, di atas kursi panjang ini dan tidak akan pernah saya lupa, yakni ‘terima kasih banyak’. Saya tak tahu harus berkata apa, dan Tegar berterima kasih untuk apa. Saat itu saya merasa tidak patut untuk menerima ucapan terima kasih dari siapapun, terlebih lagi sampai berbanyak-banyak. Kemudian, Tegar mengutarakan niatnya untuk mengasuh seluruh anak yang masih saya didik untuk disekolahkan di kota. Sesungguhnya berat, namun saya sangat bangga akan usahanya. Langsung saja saya setujui tawaran tersebut. Sejak saat itulah tempat ini tidak pernah digunakan lagi. Namun saya masih sering mengunjungi bangunan ini, sebuah sejarah bagi saya. Sungguh betapa saya rindukan masa-masa bersama anak-anak tersebut. Semoga Allah selalu menyertai mereka.”

Tetes air mata pun bergulir beberapa butir dari mata indah beliau. Aku tetap terus bertahan, setidaknya mampu berdiri tegar dan kemudian menghibur beliau.

Aku terbangun dari tidurku. Ternyata semua itu hanyalah mimpi; fatamorgana di tengah pelajaran yang sedang diberikan oleh Ibu Kadek, sebuah bab tentang menjadi seorang proaktif. Segera aku mengumpulkan kembali kesadaranku. Namun kalimat terakhir yang diucapkan oleh beliau, sang nenek guru masih terus terngiang dalam pikiranku. Akhirnya ada seorang yang mampu menjawab pertanyaanku yang hampir usang itu.

“Saya belum mengenal engkau wahai anak muda. Tapi percayalah, betapapun binar matamu menyembunyikannya, saya masih mendapati semangat di dalamnya, semangat pemuda. Kami, tenaga-tenaga pendidik sudah menyerahkan tongkat estafet kepada kalian para pemuda. Percayalah bahwa engkau adalah salah satu penanggung masa depan bangsa, pengemban kemajuan Negara, dan kami tidak akan berarti apa-apa tanpa usaha kalian.”

Kamis, 01 Maret 2012

Information pollution

20.31


Information pollution (also referred to as "info pollution") is the contamination of information supply with irrelevant, redundant, unsolicited and low-value information. The spread of useless and undesirable information can have a detrimental effect on human activities. It is considered one of the adverse effects of the information revolution.
Pollution is a large problem and is growing rapidly. The majority of the modern descriptions of information pollution apply to computer based communication methods, such as e-mail, instant messaging (IM) and RSS feeds. The term acquired particular relevance in 2003 when Jakob Nielsen, a leading web usability expert, published a number of articles discussing the topic. However, as early as 1971 researchers were expressing doubts about the negative effects of having to recover “valuable nodules from a slurry of garbage in which it is a randomly dispersed minor component.” People use information in order to make decisions and adapt to circumstances. Yet, cognitive studies have demonstrated that there is only so much information human beings can process before the quality of their decisions begins to deteriorate. The excess of information is commonly known as information overload and it can lead to decision paralysis, where the person is unable to make a judgment as they cannot see what is relevant anymore.[1] Although technology has clearly exacerbated the problem, it is not the only cause of information pollution. Anything that distracts our attention from the essential facts that we need to perform a task or make a decision could be considered an information pollutant.
The use of the term information pollution also draws attention to the parallels between the information revolution that began in the last quarter of the 20th century and the industrial revolution of the 18th-19th century. Information pollution is seen as the equivalent of the environmental pollution generated by industrial processes. Some authors claim that we are facing an information overload crisis of global proportions, in the same scale of the threats faced by the environment. Others have expressed the need for the development of an information ecology to mirror environmental management practices.

Causes and sources

Cultural factors

A number of cultural factors have contributed to the growth of information pollution:
Information has been seen traditionally as a good thing. We are used to statements like “you cannot have too much information”, “the more information the better” and “information is power”. The publishing and marketing industries have been used to printing excessive copies of books, magazines and brochures regardless of customer demand, just in case they were needed.
As new technologies made it easier for information to reach the furthest corners of the planets, we have seen a democratisation of information sharing. This is perceived as a sign of progress and individual empowerment, as well as a positive step to bridge the divide between the information poor and the information rich. However, it also has the effect of increasing the volume of information in circulation and making it more difficult to separate valuable from worthless material.

The role of information technology

As already mentioned, information pollution can exist without technology, but the technological advances of the 20th century and, in particular, the internet have played a key role in the increase of information pollution. Blogs, social networks, personal websites and mobile technology all contribute to increased “noise” levels. Some technologies are seen as especially intrusive (or polluting), for example instant messaging. Sometimes, the level of pollution caused depends on the environment in which the tool is being used. For example e-mail is likely to cause more information pollution when used in a corporate environment than in a private setting. Mobile phones are likely to be particularly disruptive when used in a confined space like a train carriage.


How to prevent this?
  1. Make sure that the author of the information is believable 
  2. Take the information from the legal domain or extension; example : *.go.id*, *.sch.id*, etc.
  3. See the date of information being updated.
Source : http://en.wikipedia.org/wiki/Information_pollution#Causes_and_sources

Spamming

20.23

Email spam, also known as junk email or unsolicited bulk email (UBE), is a subset of electronic spam involving nearly identical messages sent to numerous recipients by email. Definitions of spam usually include the aspects that email is unsolicited and sent in bulk.[1][2][3][4][5] One subset of UBE is UCE (unsolicited commercial email). The opposite of "spam", email which one wants, is called "ham", usually when referring to a message's automated analysis (such as Bayesian filtering).[6] Like other forms of unwanted bulk messaging, it is named for Spam luncheon meat by way of a Monty Python sketch in which Spam is depicted as ubiquitous and unavoidable.
Email spam has steadily grown since the early 1990s. Botnets, networks of virus-infected computers, are used to send about 80% of spam. Since the expense of the spam is borne mostly by the recipient,[7] it is effectively postage due advertising.
The legal status of spam varies from one jurisdiction to another. In the United States, spam was declared to be legal by the CAN-SPAM Act of 2003 provided the message adheres to certain specifications. ISPs have attempted to recover the cost of spam through lawsuits against spammers, although they have been mostly unsuccessful in collecting damages despite winning in court.[8][9]
Spammers collect email addresses from chatrooms, websites, customer lists, newsgroups, and viruses which harvest users' address books, and are sold to other spammers. They also use a practice known as "email appending" or "epending" in which they use known information about their target (such as a postal address) to search for the target's email address. Much of spam is sent to invalid email addresses. Spam averages 78% of all email sent.[10] According to the Message Anti-Abuse Working Group, the amount of spam email was between 88–92% of email messages sent in the first half of 2010.[11]

Source : http://en.wikipedia.org/wiki/Email_spam

Postingan LamaPostingan Lebih Baru

Blog ini didesain oleh seorang amatiran dan berisi artikel-artikel ringan yang diperuntukkan memerkaya wawasan. Semoga bermanfaat...