11.06
“Itulah yang kusaksikan, siluet wibawa beliau yang terkibas di depan kelasku. Setiap hari. Ya, mungkin dua kali sehari. Seakan karpet wibawa beliau telah digelar di seluruh penjuru sekolah, jejak langkah beliau terlihat anggun bersama langkah tegap. Dan kurindukan beliau pada hari Jumat, sesaat sebelum bel sekolah memulangkan siswa-siswiya. Beliau rutin berdiri tegak di hadapan kami, saya dan teman sekelas, meyakinkan kami akan bayang-bayang masa depan cemerlang. Satu kata, ‘proaktif!’.”
Siapakah diriku? Adakah seseorang yang mampu memberikan jawaban
atas pertanyaan seorang polos sepertiku? Ya, semua orang akan memberikan
jawaban. Namaku. Itulah jawaban mereka. Aku pun berbalik termenung, mencari
jawaban dari mulut ke mulut. Tak kudapati ludah yang berbeda. “Kamu Joevandi,
kan?”
Roda kehidupan terasa seperti armadilo yang tiada lelah, namun tak
kunjung kudapat jawaban dari pertanyaan tersebut. Hingga mulai seringaiku,
seringai bendera putih. Aku lelah. Tak ada satu pun jejak yang dapat dikesan.
Bagai semut yang baru saja kehujanan, aku mencoba untuk kembali mengenali arah
dan tujuanku. Aku harus melangkah, siapa tahu ada yang akan mengikutiku. Namun,
belum kukenali diriku sendiri, bagaimana mereka bisa mengenaliku, apalagi
mengikutiku? Baiklah, kuputuskan untuk terus melangkah, tak peduli cacat yang
mungkin kutemukan di akhir langkahku.
Aku tersesat, begitulah aku menyebutnya ketika tak kukenali daerah
di mana kakiku berpijak. Sebuah tempat penuh ilalang, tinggi, lebih tinggi
daripada adikku yang masih seusia siswa taman kanak-kanak. Atapnya rapuh. Ada
sebuah genting yang masih tersangkut di atasnya, atau mungkin sudah tidak patut
untuk kuperhitungkan. Hanya kutemukan sebuah ruangan dari bangunan tersebut,
namun pemandangannya tidak terlalu jelas. Kuputuskan untuk mendekat, selangkah
demi selangkah bersama keraguan, hingga nampak beberapa bangku berjajar yang
dengan anggunnya diselimuti oleh debu dan sarang laba-laba.
Sekilas aku mengenal tempat ini. Bangunan sekolah. Namun, pantaskah
tempat seperti ini disebut dengan bangunan sekolah, atau setidaknya bekas
bangunan sekolah? Tak terdeteksi nafas seorang pun di tempat ini selain udara
yang keluar dari hidungku. Aku pun beranjak kembali pada lamunanku. Namun
tidak, aku tidak boleh melamun lagi. Haruskah aku mengecat roda kehidupanku
dengan lamunan yang tiada hentinya? Kucoba untuk berpikir logis. Namun tidak,
cerobong logikaku sepertinya sedang buntu saat ini. Lalu apakah yang sebaiknya
kulakukan? Kuputuskan untuk berbalik.
Langkah kuhentikan, sedikit terlonjak ketika kudapati sebuah
kelembutan menyentuh pundakku. Ya, itu adalah tekstur sebuah telapak tangan.
Kucoba untuk berbalik badan. Tampak sesosok perempuan lanjut usia yang berdiri
di hadapanku sekarang. Sepertinya beliau telah mengawaskan pandangannya pada
diriku sejak tadi. Beliau paham betul apa yang sedang kurasakan, yang sedang
kubingungkan.
Kami mecari tempat untuk singgah. Tak kusangka masih ada sebuah
kursi panjang di belakang bangunan tersebut, terlihat bersih dan mengilap, tak
diragukan lagi bahwa dibersihkan setiap harinya. Aku dipersilakan duduk, dan
semua cerita dimulai di sini.
“Wahai anak muda, saya tidak heran apabila engkau menyangsikan
tempat ini. Sesungguhnya ini adalah tempat saya. Beberapa puluh tahun yang
lalu, banyak anak kecil berdatangan guna meraup ilmu di sini. Saya merasa
senang sekali. Sejak mentari terbit di ufuk timur hingga terbenamnya di ufuk
barat, saya menghabiskan waktu bersama mereka. Semakin banyak, jumlah anak yang
berdatangan semakin lama semakin menjamur. Waktu teruslah melaju, hingga mereka
telah tumbuh dewasa. Banyak yang datang, banyak pula yang harus pergi. Memang
saya yang menyarankan mereka yang telah dewasa untuk beranjak, memperdayakan
ilmu yang telah mereka dapatkan. Tidak ada sepucuk kabar yang saya dapatkan
dari mereka dalam waktu dekat setelah perpisahan kami, namun tak hentinya doa
kupanjatkan demi kesuksesan mereka. Sesungguhnya bangunan ini saya perdayakan
dengan harapan kampung yang tertinggal ini dapat semakin terangkat derajat
pendidikannya, dan begitu pula isi doa yang selalu saya sujudkan, tiada
melenceng dari satu tujuan, kesuksesan mereka. …”
Sejenak tertegun, tak mampu berucap apapun, aku hanyut dalam cerita
beliau yang sungguh menyentuh hati. Pikiranku terambang, seandainya aku yang
sedang dididik beliau, seandainya.
“… Hingga pada suatu hari ada seorang berjas hitam berdasi merah
yang datang ke tempat ini. Ya, itulah pakaian yang dikenakannya pada saat itu,
tak akan pernah saya lupakan saat itu. Seorang pria berjalan tegap, menggandeng
seorang wanita dan seorang anak kecil berlarian tepat di depan mereka. Saya
masih mengingatnya. Namanya Tegar, salah satu anak yang paling cerewet sebelas
tahun sebelum kejadian itu. Spontan saya terkejut. Anaknya yang lebih dulu
menghampiri saya. Mencium tangan, kemudian anak itu mengucapkan
‘Assalamu’alaikum nenek guru.’ Spontan saya terharu, senang, tak tahu harus
berkata apa dan tak tahu atas dasar apa anak itu memanggil saya seperti itu.
Tegar pun kemudian menghampiri saya, mencium tangan saya. Istrinya melakukan
hal yang sama. Tiga kata yang diucapkan tegar pada saat itu, di atas kursi
panjang ini dan tidak akan pernah saya lupa, yakni ‘terima kasih banyak’. Saya
tak tahu harus berkata apa, dan Tegar berterima kasih untuk apa. Saat itu saya
merasa tidak patut untuk menerima ucapan terima kasih dari siapapun, terlebih
lagi sampai berbanyak-banyak. Kemudian, Tegar mengutarakan niatnya untuk
mengasuh seluruh anak yang masih saya didik untuk disekolahkan di kota.
Sesungguhnya berat, namun saya sangat bangga akan usahanya. Langsung saja saya
setujui tawaran tersebut. Sejak saat itulah tempat ini tidak pernah digunakan
lagi. Namun saya masih sering mengunjungi bangunan ini, sebuah sejarah bagi
saya. Sungguh betapa saya rindukan masa-masa bersama anak-anak tersebut. Semoga
Allah selalu menyertai mereka.”
Tetes air mata pun bergulir beberapa butir dari mata indah beliau.
Aku tetap terus bertahan, setidaknya mampu berdiri tegar dan kemudian menghibur
beliau.
Aku terbangun dari tidurku. Ternyata semua itu hanyalah mimpi; fatamorgana
di tengah pelajaran yang sedang diberikan oleh Ibu Kadek, sebuah bab tentang
menjadi seorang proaktif. Segera aku mengumpulkan kembali kesadaranku. Namun
kalimat terakhir yang diucapkan oleh beliau, sang nenek guru masih terus terngiang
dalam pikiranku. Akhirnya ada seorang yang mampu menjawab pertanyaanku yang
hampir usang itu.
“Saya belum mengenal engkau wahai anak muda. Tapi percayalah,
betapapun binar matamu menyembunyikannya, saya masih mendapati semangat di
dalamnya, semangat pemuda. Kami, tenaga-tenaga pendidik sudah menyerahkan tongkat
estafet kepada kalian para pemuda. Percayalah bahwa engkau adalah salah satu
penanggung masa depan bangsa, pengemban kemajuan Negara, dan kami tidak akan
berarti apa-apa tanpa usaha kalian.”
0 Kritikan:
Posting Komentar