23.59
Aku
bukan seorang guru. Bukan pula karena orang tuaku adalah guru, karena beliau
berdua juga tidaklah berangkat ke bangunan sekolah, bersolek dengan pakaian
dinas dan menjinjing tas penuh berisi buku demi para pelajar yang haus akan
ilmu. Kakakku juga bukan seorang guru. Akan tetapi, aku masih tetap menjunjung
tinggi pengakuanku akan kehebatan guru-guruku. Mungkin akan banyak mulut yang
mempertanyakan alasanku, dan aku akan menjawabnya dengan luas, yakni panjang
kali lebar. Aku mempunyai puluhan alasan untuk pendapatku itu, bahkan ratusan.
Namun, satu hal yang menjadi apresiasi terbesarku terhadap beliau-beliau adalah
kemampuan seorang guru dalam beradaptasi.
Sebagian
besar masyarakat awam berpikir bahwa kemampuan beradaptasi merupakan suatu hal
yang wajib untuk dimiliki oleh para tenaga pendidik. Memang benar, tidak ada
yang pernah menyalahkan pernyataan tersebut. Seandainya kita mencoba untuk menyelisik
lebih dalam lagi, sesungguhnya kemampuan tersebut telah dimiliki oleh guru-guru
kita sejumlah ekstra, terutama para tenaga pengajar sekolah dasar. Betapa
tidak, kurikulum pendidikan Indonesia yang terus menerus diganti mengharuskan
para guru untuk kembali menyesuaikan diri. Tidak diperkenankan berlama-lama bagi
beliau-beliau menemukan cara yang tepat untuk mendidik siswa-siswinya.
Banyak
hal yang sesungguhnya telah dihadapi oleh guru-guru kita dalam kurun waktu 10
tahun ke belakang. Salah satu contohnya adalah pengadaan mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bagi siswa-siswi kelas
1 dan kelas 2 sekolah dasar. Pada tahun 2002 saja murid kelas 1 SD masih harus
mematangkan kemampuan mereka dalam hal membaca dan menulis, memang sesungguhnya
hal itulah yang dilakukan oleh anak seusia mereka. Akan tetapi, kita tidak bisa
mengabaikan faktor pengaruh globalisasi yang menyebabkan perkembangan zaman menjadi
semakin pesat. Apabila Bangsa Indonesia tidak mengikuti perkembangan tersebut,
maka habislah negara ini terpuruk. Satu-satunya jalan keluar dari permasalahan
ini adalah penyesuaian cara mengajar guru yang mampu menyisipkan materi baca tulis
di sela pelajaran lainnya. Dengan panjang waktu pembelajaran yang sama, guru
dituntut untuk menyampaikan seluruh materi dengan tidak satu siswa pun yang
merasa bosan, apalagi sampai bingung hingga tidak mendapatkan apa-apa dari
materi yang telah disampaikan.
Tidak
berhenti sampai di situ saja, wacana penghapusan mata pelajaran IPA, IPS dan
Bahasa Inggris, atau penggabungan IPA dan IPS menjadi IPU alias Ilmu
Pengetahuan Umum bagi siswa sekolah dasar bisa dibilang cukup mengagetkan.
Pasalnya, setiap guru harus melakukan kajian ulang terhadap materi-materi yang
telah dan akan disampaikan. Bisa dikatakan baru saja para tenaga pendidik
sekolah dasar mendapatkan posisi yang sangat nyaman dan sesuai pada kursinya mengajar
materi-materi baru bagi siswa-siswi kelas 1 dan kelas 2, yakni IPA dan IPS, dan
sekarang beliau-beliau harus mengambil ancang-ancang guna mempersiapkan sebuah
materi baru di kelas, yakni Ilmu Pengetahuan Umum. Hal tersebut seakan memaksa
para guru untuk berdiri dan kemudian kembali berusaha duduk dalam posisi yang sangat
nyaman dan sesuai seperti masa sebelumnya. Inovasi dan kerja keras tentu
diperlukan oleh beliau-beliau untuk
Dari
semua kasus di atas, satu hal yang seharusnya dapat kita lihat, yakni kemampuan
guru untuk beradaptasi bukanlah lagi dalam batas normal, melainkan sudah bisa
dikatakan ‘ekstra’. Tanpa inovasi dan kecekatan beliau-beliau, tak mungkin para
pelajar masa kini mampu mengatasi masalah kurikulum pendidikan Indonesia yang
terus menerus diganti dalam kurun waktu yang cukup singkat. Tak salah lagi,
guruku takkan pernah mampu untuk duduk tenang, melainkan selalu mengeluarkan
berbagai inovasi-inovasi baru, itulah guruku.
0 Kritikan:
Posting Komentar