16.35
Lima
tahun sudah aku berpisah dengan sekolah ini, bangunan yang sempat aku huni
selama enam tahun lamanya untuk menimba ilmu. Dulu sekolah ini unggulan,
sekarang hanya tinggal onggokan. Pilu rasanya
ketika mengenang semua itu. Memori-memori indah terasa memanggil, berasal dari
puing-puing reruntuhan taman bermain yang dulu sempat aku berada di dalamnya
bersama teman-temanku, mengisi waktu luang di waktu istirahat. Tepat di
belakangnya, sebuah ruangan yang sudah tak asing lagi bagiku, ruang kelas 1.
Aku memutuskan untuk melanjutkan langkahku menyusuri sekolah itu, lembaga di
mana aku memeroleh ijazah SD-ku.
Di
ruang kelas 1 inilah pertama kalinya aku memperoleh tugas dan pekerjaan rumah
atau yang lebih dikenal dengan PS (pekerjaan sekolah) dan PR (pekerjaan rumah).
Sangat jernih dalam ingatanku bahwa pada saat itu, guruku hanya memberikan satu
PR dan satu PS dalam sehari, dan begitulah seterusnya yang terjadi dalam
hari-hariku. Hidup tanpa tekanan seperti itu membuat motivasiku untuk belajar membara
dengan sendirinya. Apalagi peran tugas dan pekerjaan rumah yang sesungguhnya
ialah untuk membantu siswa-siswi lebih cepat menyerap hal-hal yang telah disampaikan
oleh guru di sekolah.
Kucoba
untuk membandingkan dengan yang sedang aku rasakan saat ini, masa lalu terasa
amat manis. Betapa tidak, di masa ini tugas yang kudapatkan sudah di luar batas
wajar kemampuan seorang siswa SMA. Apabila aku menuliskan daftar tugas dan
pekerjaan rumah yang kudapatkan selama satu minggu bersekolah pada sebuah
kertas A4 dengan margin 1 sentimeter pada masing-masing sisi, menggunakan jenis
huruf times new roman ukuran 15 saja sudah dapat kupenuhi kertas
tersebut. Memang benar pendapat tentang perbedaan kekuatan antara siswa kelas 1
SD dengan siswa kelas 11 SMA. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan lagi batas
wajar yang diterapkan pada masing-masing tingkat. Andai saja sekolah-sekolah
masa kini mau mengerti apa yang dirasakan oleh siswa-siswinya berkenaan
dengan tugas dan pekerjaan rumah.
Tak
terasa langkah kaki sudah membawaku berdiri di hadapan ruang kelas 3. Di
sinilah kembali terngiang masa-masa perjumpaan dengan sobat-sobat baruku, Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dengan demikian,
jumlah mata pelajaran yang harus aku kuasai menjadi semakin bertambah. Sungguh
aku merasa bersalah bahwa pada saat itu aku mengeluh, karena sesungguhnya hal
tersebut bukanlah beban terberatku. Pada saat memasuki hari pertama kegiatan
belajar mengajar di bangku SMA, lebih tepatnya kelas 10, kutemui tujuh belas
mata pelajaran yang harus aku kuasai dan pelajari secara mendalam. Sungguh, hal
tersebut cukup mengejutkan dan mencengangkan bagiku.
Memang
benar, pentingnya untuk mengerti banyak hal sangatlah diperlukan pada era ini.
Akan tetapi, alangkah lebih efisien apabila siswa telah diarahkan dan dituntut
untuk memelajari hal-hal yang mereka inginkan sebagai jalan menuju masa depan
sejak dini, dan tanpa mengurangi pentingnya pengetahuan-pengetahuan yang lain,
menjadikan mata pelajaran lainnya sebagai ekstrakurikuler berdasarkan minat, tidak
harus menunggu penjurusan yang terjadi pada bangku kelas 11 SMA. Pernah
terbersit dalam pikiranku, sebuah sekolah yang memberikan kebebasan kepada
siswa-siswinya untuk memilih tujuh mata pelajaran saja dari semua mata pelajaran
yang tersedia. Di laporan hasil belajar siswa akan tertulis mata pelajaran yang
diambil saja, dan pada semester berikutnya siswa-siswi tidak dipersulit untuk
berpindah mata pelajaran jika memang diperlukan.
Begitu
panjang kenangan ini berjalan. Tanpa terasa aku sudah sampai di sebuah ruangan
yang pernah kugunakan untuk menghabiskan tahun akhirku di bangku sekolah dasar;
ruang kelas 6. Masih terbayang dalam kenangan, masa-masa yang kuhabiskan
bersama teman-temanku. Di beranda inilah, tempat di mana aku berpijak, kami
habiskan makan siang bersama, kami bercanda bersama, membicarakan guru bersama,
semuanya kami lakukan secara bersama-sama. Keakraban yang terjalin di masa
tersebut mampu membuat diriku iri terhadap masa laluku. Setelah aku
meninggalkan bangku sekolah dasar dan bertemu teman-teman baru di bangku
sekolah menengah pertama (SMP), semuanya berubah. Aku tidak lagi merasakan
keakraban yang dulu pernah terjalin bersama teman-temanku di masa sekolah
dasar. Sesekali kujumpai keakraban tersebut di antara teman-teman sekelas,
namun alangkah baiknya apabila keakraban tersebut dalam terjalin tidak hanya
dalam lingkup kelas, melainkan juga satu angkatan, bahkan satu lingkungan
sekolah. Andai saja sekolah sering mengadakan kegiatan yang mampu meningkatkan
kebersamaan, seperti yang sering kudapatkan di bangku sekolah dasar dulu.
Selain
kenangan tersebut, masih ada lagi hal yang kualami di ruangan kelas 6 ini;
Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (UASBN) atau yang sekarang lebih dikenal
dengan istilah Ujian Nasional SD (UN-SD). Mungkin kenangan inilah yang paling
tidak ingin kuingat dari sekian banyaknya kenangan yang terjadi di masaku
mengenakan seragam putih-merah. Saat itu aku dan teman-temanku sudah berusia 12
tahun, pikiran kami sudah cukup terasah untuk melakukan berbagai hal. Akan
tetapi, orang tuaku selalu mengatakan bahwa itu semua akan sia-sia apabila
tidak didampingi dengan iman yang kuat. Benar saja, UASBN yang sesungguhnya
dirancang sebagai penentu kelulusan siswa-siswi sekolah dasar malah digunakan
sebagai lahan mencari nafkah bagi para pembocor soal, dan juga ajang adu nilai
bagi siswa-siswi yang membeli bocoran soal atau kunci jawaban ujian tersebut.
Dan
lebih lanjut lagi, entah hal ini merupakan sesuatu yang positif ataukah negatif,
pengikutsertaan nilai sekolah dalam penghitungan nilai kelulusan menjadi
kebijakan pemerintah yang berlaku hingga saat ini. Positifnya, sebagian
siswa-siswi akan merasa usahanya dalam kurun waktu 5 semester dihargai sebagai
penentu kelulusan, sehingga mereka akan lebih rajin belajar. Negatifnya,
sebagian siswa-siswi yang lain akan berlomba-lomba untuk menawarkan kekayaan
pada pihak sekolah sebagai ganti dari keinginan mereka untuk mengatrol alias
menaikkan nilai. Pernah saya secara iseng memikirkan permasalahan ini hingga
akhirnya memunculkan sebuah ide. Andai saya menjadi orang yang mampu menentukan
syarat kelulusan bagi siswa-siswi Indonesia, maka kelulusan akan ditentukan
dari 90% nilai ujian dan 10% nilai harian di sekolah. Nilai ujian yang akan
diambil adalah rata-rata dari enam ujian yang dilaksanakan pada setiap akhir
semester, dengan ujian yang sepenuhnya berbentuk esai dan dikoreksi oleh tim
khusus dan terpercaya yang diterjunkan di masing-masing wilayah Kabupaten/Kota.
Mungkin
sejak awal perjalanan menyusuri kawasan sekolah ini aku sudah banyak
berandai-andai. Tak apalah. Meski kini sudah percuma bagiku untuk mengenang
semua itu, mungkin pikiran-pikiranku ini bisa bermanfaat bagi anak-cucuku
kelak. Terakhir, sebelum aku meninggalkan kawasan sekolah tersebut, kuambil
selembar kertas sticky-note dan sebuah bolpoin dari dalam ransel yang sejak
tadi melekat di punggungku. Kutuliskan:
”Semoga
pemerintah mampu untuk menjadi lebih bijak dalam memutuskan segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan pendidikan, karena pendidikan mengambil bagian yang
cukup besar dalam pembangunan negara. Semoga Indonesiaku segera menjadi lebih
baik. Tunggu aku untuk merubah Indonesiaku!”
Kutempelkan
kertas itu pada tiang bendera yang menjadi penyangga bagi Sang Saka Merah Putih,
selalu tegak di depan kami semua yang melakukan upacara bendera, serta tak
pernah goyah walau Merah Putih telah diturunkan, diamakan dan kemudian tidak
ada seorangpun yang memerhatikan tiang tersebut. Langsung saja kulangkahkan
kakiku meninggalkan kawasan sekolah tersebut.